https://www.gregoranthropologicalgroup.click/index.php/ijahg/issue/feedInternational Journal of Anthropology HumaniverCity and GreenCybernomics2023-08-04T12:17:46+07:00Justiani Liemjustianiliem@gmail.comOpen Journal Systemsijahghttps://www.gregoranthropologicalgroup.click/index.php/ijahg/article/view/10MEMBUNUH TUHAN VS MENALAR TUHAN: HERMENEUTIKA KEBHINEKAAN2023-06-06T13:33:25+07:00Justiani Liemjustianiliem@gmail.com<p style="text-align: justify;">“Membunuh Tuhan” adalah aktivitas manusia ketika peran Tuhan dikerdilkan, dikendalikan, bahkan ditiadakan, demi kepentingan sesaat manusia, sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja. Penyebab internal, bersumber dari dalam diri, yaitu pemahaman dimana Tuhan diposisikan berperilaku seperti manusia (anthropomorphisme). Sebab eksternal adanya kebutuhan manusia untuk mencari kekuatan di“luar diri”nya ketika menghadapi berbagai tekanan sosial (marjinalisasi), akibat proses modernisasi. Disinilah, sering timbul berbagai gesekan dan konflik antar manusia, antar kelompok. Apa peran agama disini? Tulisan ini mengulas soal kesadaran internal akan makna Tuhan untuk mencari akar pemaknaan universal yang bisa diterima oleh siapapun dengan aneka latarbelakang. Tujuannya menuju konvergensi pemahaman akan ketuhanan yang nalar dan konsisten serta ajaran menjadi implementatif dalam kehidupan. Mengapa upaya tersebut penting? Karena disinilah modal sosial untuk membangun “trust” dengan cara alamiah dan bukan rekayasa. Dengan trust, orang-orang bisa bekerjasama dengan baik, karena ada kesadaran untuk menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Trust adalah energi yang membuat kelompok masyarakat atau organisasi dapat bertahan. Trust yang rendah mengakibatkan banyak energi terbuang dengan semakin parahnya konflik dalam masyarakat paskamodern. Usaha mencari pemaknaan universal itu disebut dengan Menalar Tuhan sesuai dengan falsafah bangsa “Bhineka Tungga Ika, Tan Hana Dharma Mangruwa” (Berbeda-beda tetapi tetap satu dan tidak ada kebenaran mendua).</p>2023-08-04T00:00:00+07:00Copyright (c) 2023 International Journal of Anthropology HumaniverCity and GreenCybernomicshttps://www.gregoranthropologicalgroup.click/index.php/ijahg/article/view/12TÁTEK TUA BOITLES NOK ÍNSUNAN: A ESPIRITUALIDADE DA RECONCILIAÇÃO DO POVO ATONI EM TIMOR LESTE2023-07-31T10:46:05+07:00José Taçainjta221022@gmail.comClélia Peretticlelia.peretti@pucpr.br<p><em>The article presents the reconciliation mechanisms that are found within the culture of the Atoni people of Timor Leste. These culturally distinct people live spread across two countries: Indonesia and Timor Leste and preserve their family ties beyond geographic borders. The aim is, at first, to describe the</em> <em>geographical, historical, sociocultural aspects, customs, livelihood economy of the Atoni People, then deal with conflict processes and mechanisms to resolve conflicts through the use of the term tatek tua boitles nok insunan and, finally, reflect on the concept of reconciliation in the Christian tradition and in the Atoni People. The research has an essentially bibliographic character and uses different theoretical references. The Atoni People have their own identity and the symbol of peace and reconciliation is represented through the "tua boitles nok in sunan". This symbol expresses a spiritual value, that is, mutual respect and respect as God's creation. Despite the modernization process, the Atoni People keep their tradition alive and the spirituality of reconciliation is the fruit of the union of many hearts that meet in a single heartbeat that leads to a new attitude towards life.</em></p>2023-08-04T00:00:00+07:00Copyright (c) 2023 International Journal of Anthropology HumaniverCity and GreenCybernomicshttps://www.gregoranthropologicalgroup.click/index.php/ijahg/article/view/13CHARLES PETER WAGNER SANG TALIBAN NIRKEKERASAN2023-08-02T10:40:49+07:00Saurip Kaditentaraprorakyat@gmail.com<p>Seluk beluk Charles Peter Wagner, sang maestro penginjilan karismatik, dikaji rinci dan mendalam oleh Petri Laitinen dalam disertasinya “Spiritual Gifts according to Charles Peter Wagner”. Judul ini amat tepat mengingat faktor karunia roh dalam penginjilan terbukti menarik jemaat dalam jumlah besar. Jemaat ingin menyaksikan “keajaiban-keajaiban” nyata secara partisipatif. Apakah teori pertumbuhan gereja yang diprakarsai McGavran, lalu dipopulerkan Wagner dengan aneka atraksi karunia roh itu, merupakan prestasi atau penyesatan? Ujung-ujungnya terjadi komersialisasi, politisasi kekristenan dan pengharapan akan datangnya Kerajaan Tuhan di Bumi. Ada kemiripan dengan gerakan Taliban dalam hal dominionism, politisasi, dan kewajiban mendirikan kerajaan Tuhan di Bumi. Tulisan ini mengkritisi paham teologi Wagner dan sebagai solusi integrasi esensi, mengusulkan paham Dain Heer and Gary M. Douglas, Akses Kesadaran, yang memiliki penjelasan ilmiah mengenai kemampuan spiritual dalam bentuk keseimbangan energi. Mengingat paham teologis Wagner fleksibel sesuai pengalaman dirinya, diharapkan tulisan ini menjadi pertimbangan.</p>2023-08-04T00:00:00+07:00Copyright (c) 2023 International Journal of Anthropology HumaniverCity and GreenCybernomicshttps://www.gregoranthropologicalgroup.click/index.php/ijahg/article/view/79-106THE END OF ECONOMICS (BERAKHIRNYA EKONOMI): MATAUANG EMAS DAN PUNAHNYA PERBANKAN2023-08-02T12:13:28+07:00Saurip Kaditentaraprorakyat@gmail.com<p>Prof. Umar Ibrahim Vadillo, Pemimpin Korporasi E-dinar Dotcom, suatu electronic payment system” berbasis emas, yang juga menjabat sebagai Ketua WITO (World Islamic Trade Organization), berkesempatan mengunjungi Indonesia selama sebulan dalam perjalanannya ke Kuala Lumpur, Malaysia, dari Capetwon, Afrika Selatan untuk bersama-sama mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad, merumuskan program aksi digunakannya kembali mata uang emas dalam perdagangan lokal, nasional, regional maupun global. </p> <p>Dalam kesempatannya berkunjung ke Indonesia, Justiani Liem mengajak Prof Vadillo melakukan serangkaian kegiatan dan berdialog dengan sejumlah tokoh di tanah air. Diantaranya memberikan kuliah umum (studium generale) di STEKPI, Kalibata, Jakarta Selatan, dan juga di UIN Syarief Hidayatullah, Ciputat, Jakarta Selatan, Mesjid Salman ITB Bandung, Universitas Widyagama Bandung, berjudul: “The End of Economics: The Return of Gold Dinar as A Single Global Currency and The Empowerment of People” (Berakhirnya Ekonomi: Kembalinya Dinar Emas sebagai Matauang Tunggal Dunia dan Kebangkitan Rakyat).</p> <p>Dialog antara Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi dan Umar Ibrahim Vadillo di kantor Bali Energy Limited (BEL) milik Saurip kadi di bilangan Patal Senayan, Jakarta Selatan, dan dialog tersebut direkam oleh Liem Siok Lan yang isinya membedah secara kritis buku Vadillo berjudul diatas</p>2023-08-04T00:00:00+07:00Copyright (c) 2023 International Journal of Anthropology HumaniverCity and GreenCybernomicshttps://www.gregoranthropologicalgroup.click/index.php/ijahg/article/view/16PEMAKNAAN SIMBOL CICAK MENURUT ORANG BATAK TOBA, KARO DAN TIMOR (SEBUAH KAJIAN SOSIO-KULTURAL)2023-08-02T12:28:43+07:00Ebenhaizer I Nuban Timoadmin@gregoranthropologicalgroup.click<p>Cicak merupakan binatang unik. Ia bisa ditemukan di lantai, menempel di dinding rumah dalam posisi tegak lurus, juga di loteng (plafon) dalam posisi terbalik di hampir setiap rumah penduduk Indonesia. Kebiasaan cicak memutuskan ekornya untuk memperdaya pemangsa seperti kucing juga menjadi sumber pesona tersendiri. Masyarakat suku Batak Toba menjadikan kepiawaian cicak tadi sebagai sarana pembelajaran akan pentingnya menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan budaya. Oleh masyarakat suku Batak Karo, cicak menjadi model pengajaran tentang pentingnya relasi kekerabatan. Di Kalangan suku <em>Meto</em> di Timor cicak menjadi simbol kehadiran dewa tertinggi. Di ketiga suku tadi cicak tampil sebagai simbol dalam berbagai karya seni ukir tradisional. Artikel ini mengelaborasikan narasi mengenai pemaknaan simbol cicak dalam lukisan seni tradisional ketiga suku bangsa tadi bertolak dari kajian mengenai hakikat dan fungsi simbol sebagai kerangka teoritis. Studi ini penting karena memperlihatkan fakta keberagaman pemahaman manusia akan satu realitas sosial yang berguna memperkuat dan merawat kemajemukan karena memampukan berguna memperluas pemahaman dan persepsi mengenai hidup.</p>2023-08-04T00:00:00+07:00Copyright (c) 2023 International Journal of Anthropology HumaniverCity and GreenCybernomicshttps://www.gregoranthropologicalgroup.click/index.php/ijahg/article/view/17TUNTUTAN PENGHAPUSAN HUKUMAN MATI DAN BENTURANNYA DI INDONESIA2023-08-04T12:17:46+07:00Nikolaus Uskononikolaus.uskono@gmail.com<p>Penerapan hukuman mati masih berlaku, karena masih tercantum secara sah dan resmi dalam hukum positif Indonesia. Dengan kata lain bahwa hukuman mati,secara <em>de facto</em> dan <em>de iure</em> berlaku sah di Indonesia. Keadaan ini mengakibatkan bahwa pada setiap kali, apabila ada eksekusi mati, akan selalu muncul perdebatan dalam berbagai bahasan, karena secara kodrati dipandang bertentangan dengan jaminan akan hak hidup, yang populer dalam topik besar perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini bisa dipahami sebab hukum sebagai suatu produk dalam masyarakat, bertalian erat dengan adagium klasik yang menyebutkan bahwa ‘Di mana ada masyarakat di situ ada hukum’. (<em>Ubi societas, ibi ius</em>). Perlu diingat pula bahwa hukum sebagai produk yang berasal dari masyarakat baik yang sederhana /tradisional maupun yang modern sekalipun seperti negara, tak ada jaminan bahwa hak privasi perseorangan dapat terjamin. Mengapa? Sebab kesepakatan umum sebagai kehendak bersama/umum (<em>Volonte generale</em>), memutuskan untuk mengikis kehendak orang per orang yang selalu ingin menang sendiri. Kesepakatan umum mengharuskan semua pihak, untuk taat pada kesepakatan yang diterima sebagai kehendak umum. Walaupun demikian apa yang telah menjadi kesepakatan umum tentang yang namanya Hak Asasi Manusia (HAM), mestinya juga ada jaminan secara konsekuen bahwa akan dijalankan. Namun apabila dalam keadaan darurat akibat situasi dan kondisi serta ulah segelintir orang yang tidak memperhatikan hak hidup orang lain, maka bisa saja dalam keadaan seperti itu, kehendak umum (<em>volonte de tous</em>), yang dirumuskan dalam suatu kesepakatan, bisa saja dilanggar dan hal tersebut artinya ada pelanggaran terhadap prinsip Hak Asasi Manusia. Situasi ini akan mengingatkan kita kembali pada situasi hukum rimba ‘Siapa kuat, dia yang menang’ atau hukum alam, manusia menjadi serigala bagi manusia lainnnya atau “<em>Homo homini lupus”</em>. Hal diperkuat sebagaimana ditulis dalam Kitab Taurat bahwa <em>‘nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi’ </em>atau yang disebut Hukum pembalasan. Dunia ilmu pengetahuan hukum juga mengenal adanya teori <em>retaliation justice</em> atau <em>Vergeldings Theorie</em> yakni praktek menjatuhkan hukuman/ pidana kepada pelaku dengan model pembalasan, sebagai hukuman yang setimpal dengan perbuatan pelaku, demi pemenuhan rasa keadilan bagi pencari keadilan ( <em>justitiabelen</em>). Apakah praktek ini masih relevan diterima sebagai benar? Kita sendiri yang harus ada keberanian untuk merumuskannya, dengan prinsip progresif bahwa hukum itu dibuat untuk manusia, bukan manusia ada untuk hukum.</p>2023-08-04T00:00:00+07:00Copyright (c) 2023 International Journal of Anthropology HumaniverCity and GreenCybernomics